Catatan Haki

sekelumit tentang hak kekayaan intelektual

  • Mei 2024
    S S R K J S M
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  
  • music

  • Arsip

  • Meta

DAMPAK PENGEMBANGAN DAN PENGUASAAN TEKNOLOGI BAGI INDONESIA SETELAH MENJADI ANGGOTA PERJANJIAN KERJASAMA PATEN (PCT)

Posted by catatanhaki pada November 30, 2008

Pendahuluan

Selama bertahun-tahun, para ekonom telah mencoba untuk memberikan penjelasan mengenai mengapa ekonomi beberapa negara berkembang dengan cepat sementara yang lainnya tidak; dengan kata lain, mengapa beberapa negara kaya dan yang lainnya miskin. Telah disetujui secara umum bahwa hal ini disebabkan karena ekonomi kapitalis, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, telah berubah menjadi ekonomi informasi. Kapitalisme lama merupakan kapitalisme dari barang-barang, pabrik, dan tenaga kerja, bahkan tenaga kerja terlatih, telah berlimpah pasokannya, sedangkan kapitalisme baru yang pada intinya mengenai kontrol informasi dan pengetahuan telah memainkan peranan penting dalam pertumbuhan ekonomi saat ini. Untuk alasan ini masalah-masalah mengenai hak-hak kekayaan intelektual telah menjadi sedemikian penting dan mendesak. Kekayaan intelektual merupakan suatu “alat kekuatan” untuk pertumbuhan ekonomi dan kreasi kekayaan yang belum digunakan secara optimal di semua negara, khususnya di negara berkembang. Kekayaan intelektual merupakan penuntun praktis untuk menggunakan aset-aset yang intangible – seperti ilmu pengetahuan, informasi, kreativitas dan keahlian menemukan sesuatu yang baru – yang menggantikan secara cepat aset-aset tradisional dan tangible – seperti tenaga kerja dan modal – sebagai daya penggerak dari perkembangan ekonomi.

Ahli ekonomi Paul Romer menyarankan bahwa akumulasi ilmu pengetahuan merupakan daya penggerak di belakang pertumbuhan ekonomi. Bagi negara-negara untuk meningkatkan pertumbuhan, menurut teorinya, kebijakan-kebijakan ekonominya harus mendorong investasi dalam riset dan pengembangan yang baru.

Tren teknologi yang terbaru dan know-how dari berbagai macam teknologi bisa didapat melalui informasi paten yang dipublikasikan oleh Kantor Paten. Adanya sistem informasi paten yang baik dapat digunakan, tentunya secara legal dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku untuk mengembangkan dan menguasai teknologi.

Dalam rangka mendorong pengembangan dan penguasaan teknologi, selain pemanfaatan informasi paten yang ada, perlu juga dimanfaatkan sistem pendaftaran paten secara internasional melalui jalur Perjanjian Kerjasama Paten (PCT) yang dapat memberikan kemudahan bagi pemohon paten untuk mendaftarkan permohonan patennya secara serempak ke banyak negara. Hal ini jelas memberikan keuntungan bagi pemohon dibandingkan dengan pendaftaran melalui sistem paten tradisional yang harus dilakukan secara tersendiri untuk setiap negara dimana perlindungan paten ingin didapatkan.

Tulisan ini akan membahas mengenai dampak pengembangan dan penguasaan teknologi bagi Indonesia setelah menjadi anggota PCT. Secara khusus dampak yang diamati adalah jumlah permohonan paten dalam negeri yang diajukan ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Dirjen HKI). Jumlah permohonan paten dalam negeri dapat dijadikan ukuran terhadap pengembangan dan penguasaan teknologi karena jelas dengan bertambahnya jumlah permohonan paten maka banyak proses riset dan penelitian yang telah dilakukan untuk mengembangkan dan menguasai teknologi tersebut. Selain itu juga akan dibahas dampak yang sama yang dialami oleh negara lain setelah menjadi anggota PCT. Dalam hal ini penulis memilih negara Korea Selatan yang secara nyata telah menunjukkan dampak yang luar biasa dalam pengembangan dan penguasaan teknologi yang dibuktikan dengan jumlah permohonan paten dalam negerinya yang jauh lebih besar daripada jumlah permohonan paten luar negerinya bahkan sebelum negara tersebut menjadi anggota PCT.

Teori dan Kerangka Pemikiran

 

Istilah  “teknologi” tidak hanya mengacu ke mesin dan peralatan teknik (disebut teknologi “keras”), tetapi juga ke teknologi “lunak”, yaitu, informasi teknologi atau know-how. Informasi ini diperoleh melalui riset dan inovasi, yaitu, melalui pergerakan ide dari invensi ke produk-produk, proses-proses dan layanan-layanan dalam pemakaian praktis yang baru, dan melalui proses yang kompleks dan sering mahal yang melibatkan pembelajaran dari pihak lain.

 

Kamus Merriam-Webster mendefinisikan teknologi sebagai “aplikasi pengetahuan praktis, kemampuan yang diberikan oleh aplikasi pengetahuan yang praktis atau cara melaksanakan tugas khususnya menggunakan proses, metode, atau pengetahuan praktis.” Ensiklopedia Britannica mendefinisikan teknologi sebagai “aplikasi dari pengetahuan ilmiah terhadap tujuan-tujuan praktis dari kehidupan manusia atau, kadang-kadang, terhadap perubahan atau manipulasi dari lingkungan manusia. Teknologi termasuk penggunaan bahan, alat, teknik, dan sumber-sumber tenaga untuk membuat hidup lebih mudah atau lebih menyenangkan bekerja lebih produktif. Sementara pengetahuan ilmiah berhubungan dengan bagaimana dan mengapa hal-hal terjadi, teknologi focus pada membuat hal-hal terjadi.” Definisi popular dari teknologi adalah “teknologi merupakan penggunaan praktis dari informasi ilmiah.” Oleh karena itu, secara luas, teknologi mengacu pada produk-produk akhir dari riset dan pengembangan ilmiah dalam bentuk invensi dan know-how yang digunakan sebagai alat atau proses untuk membuat produk-produk dan layanan-layanan baru atau yang disempurnakan yang melayani kebutuhan-kebutuhan pasar dengan lebih baik. Sering terdapat kecenderungan untuk menyamakan satu paten dengan satu teknologi. Sejumlah paten bersama-sama bertanggung jawab untuk suatu teknologi dan sejumlah teknologi untuk suatu produk, contohnya kamera atau mobil.

Teknologi dapat diperoleh baik melalui riset dan pengembangan yang dilakukan oleh perusahaan sendiri, bekerja sama dengan pihak lain, atau dengan mendapatkan teknologi yang dikembangkan oleh pihak lain yang mungkin ditawarkan di pasar. Sering, lebih bijaksana untuk mendapatkan teknologi dari pihak lain daripada menginvestasikan waktu dan sumber daya untuk menemukan sendiri pemecahan yang sempurna; hal ini sesuai, contohnya, jika teknologi yang diperlukan tidak dapat dikembangkan sendiri karena alasan biaya, jangka waktu, sumber daya manusia dan aset-aset.

Untuk mengembangkan dan menguasai teknologi diperlukan sistem paten yang dapat meningkatkan kompetisi teknologi dan bisnis karena pemegang paten dan kompetitornya berlomba untuk meningkatkan invensi dan menghasilkan invensi-invensi baru[1].

 Sistem paten juga diperlukan karena dapat menstimulasi perkembangan ekonomi dengan beberapa cara antara lain:

(1)            informasi paten memudahkan transfer teknologi dan investasi langsung dari luar negeri;

(2)            paten mendorong riset dan pengembangan di universitas-universitas dan pusat-pusat riset;

(3)            paten merupakan katalis dari teknologi-teknologi dan bisnis-bisnis baru; dan

(4)            bisnis-bisnis mengumpulkan paten dan melibatkan lisensi, perusahaan patungan, dan transaksi-transaksi lain yang menghasilkan pendapatan berdasarkan asset-aset tersebut.

Informasi Paten Dapat Memudahkan Transfer Teknologi dan Investasi Langsung

Dokumen paten berisi uraian lengkap dari invensi. Untuk alasan ini, database paten, yang tersedia bagi publik dan dapat ditelusuri di internet, merupakan sumber informasi teknis yang kaya yang dapat digunakan, asalkan paten tersebut tidak dilanggar. Database paten dapat juga digunakan untuk mendapatkan penerima lisensi yang potensial dan rekan bisnis. Suatu survei melaporkan bahwa 67 persen perusahaan Amerika Serikat memiliki aset teknologi yang gagal dimanfaatkan (diperkirakan antara US$115 bilyun hingga US$1 trilyun). Sekitar US$100 bilyun terikat dalam inovasi menganggur tersebut dalam portofolio kekayaan intelektual dari perusahaan-perusahaan besar. Daripada membiarkan invensi tersebut menambah pengeluaran biaya pemeliharaannya, perusahaan dapat menjual invensi tersebut atau memberikan lisensi. Contohnya, Azithromycin yang merupakan antibiotik paling laku di dunia dari Kroasia[2].

Paten Mendukung Pusat-Pusat Riset dan Universitas-universitas

Hubungan antara pusat-pusat riset yang didanai publik dengan universitas-universitas, riset dan pengembangan, dan kekayaan intelektual merupakan hubungan yang dinamis. Riset dapat menghasilkan invensi-invensi, yang kemudian dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan-pendapatan untuk universitas melalui lisensi. Universitas tersebut, yang diperkaya dengan pendapatan lisensi, kemudian menjadi lebih dapat melakukan riset dan pengembangan lebih jauh, dan juga memperkuat misi pendidikan utamanya. Suatu siklus dihasilkan dimana pusat riset/universitas menjadi pusat inovasi yang bergairah. Lingkungan ini mempunyai efek makro ekonomi yang menguntungkan, termasuk mengurangi “mengalirnya tenaga ahli”, menghasilkan dukungan keuangan untuk pendidikan, dan mempromosikan riset yang menjadi patokan.

Di negara-negara berkembang, program-program riset terutama didanai oleh sektor publik atau universitas-universitas (kebanyakan publik), tetapi pendanaaan ini sering tidak mencukupi. Persentase pengeluaran riset dan pengembangan global di negara-negara berkembang terus menurun.  Pendekatan yang menjanjikan untuk meningkatkan investasi ke dalam adalah melalui investasi asing langsung dan kerjasama dengan pusat-pusat riset lokal/universitas-universitas dan sector swasta. Investasi dan usaha lisensi tersebut didorong melalui, inter alia, memperkuat undang-undang HKI dan juga merubah undang-undang dan kebijakan-kebijakan untuk memudahkan lisensi teknologi dari universitas-universitas dan pusat-pusat riset kepada sektor swasta. Undang-undang dan kebijakan-kebijakan tersebut memungkinkan universitas-universitas dan lembaga-lembaga publik untuk mendapatkan paten, memberi lisensi eksklusif atau non-ekslusif kepada perusahaan-perusahaan swasta, dan mempertahankan pendapatan royalti.

Contohnya, di Amerika Serikat Undang-undang Bayh-Dole tahun 1980 dirumuskan sebagai hasil studi dan debat mengenai kebijakan paten pemerintah Amerika Serikat pada 1960-an dan 1970-an. Dari data yang ada diketahui bahwa Undang-undang tersebut meningkatkan secara mendasar transfer teknologi antara universitas-universitas dan industri.

Tahun 1984, Cina mengambil langkah awal memasuki ekonomi yang berorientasi-pasar dengan mengundangkan undang-undang patennya, dan tahun 1999, memperkenalkan Undang-undang baru mengenai kreasi teknologi-teknologi baru, perkembangan teknologi tinggi dan penerapan industrinya.

Dalam kasus dimana teknologi merupakan sesuatu yang mendasar atau sesuatu yang melibatkan kepentingan umum dan publik, lisensi pemilik paten secara sukarela dan non-eksklusif yang diberikan ke pihak-pihak yang tertarik mungkin sudah mencukupi.

Paten Menstimulasi Teknologi-teknologi dan Industri-industri Baru

Paten adalah suatu alat yang kuat untuk mendorong kreasi teknologi-teknologi dan industri-industri baru. Bioteknologi merupakan contoh dari teknologi baru yang, tanpa sistem paten, tidak dapat dikembangkan. Contoh, sukses India dalam daerah ini[3].

Sifat global dari riset farmasi dan bioteknologi telah menghasilkan pembentukan kerjasama antara perusahaan-perusahaan di seluruh dunia termasuk kelompok besar ekonomi baru seperti India, Cina, Korea, Singapura dan Brazil[4].

Untuk mengetahui perkembangan teknologi salah satunya dapat melalui informasi teknologi yang terdapat dalam dokumen paten. Informasi dalam dokumen paten berisi informasi teknis dan hukum yang dipublikasi secara berkala oleh kantor-kantor paten. Dokumen paten mencakup uraian lengkap tentang bagaimana suatu invensi yang dipatenkan bekerja dan klaim-klaimnya yang menentukan lingkup dari perlindungan dan juga rincian mengenai siapa yang mematenkan invensi tersebut, kapan dipatenkan dan acuan terhadap literatur yang berhubungan. Sekitar dua pertiga dari informasi teknis yang diungkapkan dalam paten-paten tidak pernah dipublikasi dimanapun dan seluruh kumpulan dokumen paten di seluruh dunia meliputi kira-kira 40 juta buah. Hal ini membuat informasi paten sebagai kumpulan dari data teknologi terklasifikasi yang paling komprehensif.

Kebanyakan invensi diungkapkan ke publik untuk pertama kalinya ketika permohonan paten dipublikasi. Karenanya, paten menyediakan sarana pembelajaran mengenai riset dan inovasi sering jauh sebelum produk-produk inovatif muncul di pasaran. Tren teknologi yang terbaru dan know how dari berbagai macam teknologi bisa didapat melalui publikasi paten yang dilakukan oleh Kantor Paten. Adanya sistem informasi paten yang baik dapat digunakan, tentunya secara legal dan tidak melanggar ketentuan yang berlaku untuk mengembangkan dan menguasai teknologi.

Sehubungan dengan pengembangan dan penguasaan teknologi, maka informasi paten dapat dimanfaatkan untuk hal-hal sebagai berikut:

  • Memantau berbagai alat/teknologi yang diperlukan guna mengembangkan suatu usaha.
  • Mengetahui perusahaan-perusahaan yang mengembangkan alat/teknologi tersebut.
  • Mengkaji dan mengembangkan lebih lanjut alat/teknologi tersebut.
  • Memilih alat/teknologi yang sesuai dengan kemampuan (dana yang tersedia).
  • Memanfaatkan semua informasi yang tersedia sehubungan dengan alat/teknologi tersebut dalam menegosiasikan lisensi.
  • Mengetahui berakhirnya masa perlindungan paten (yang dapat diartikan bahwa paten tersebut dapat dimanfaatkan tanpa harus meminta izin atau membayar royalti kepada pemiliknya).

Untuk dapat memanfaatkan informasi paten tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelusuran yang bertujuan untuk mencari dokumen pembanding terkait dalam bidang teknik invensi sehingga dapat diketahui peluang sukses invensi yang diajukan, mengarahkan kegiatan riset dan pengembangan, mencegah terjadinya tumpang tindih dalam melakukan riset dan memprediksi teknologi masa depan.

Ada beberapa jenis penelusuran paten yang tersedia pada suatu kantor paten yakni:

A. Berdasarkan Pelaksana terdiri dari:

    1. Penelusuran Nasional;

              2. Penelusuran Internasional (ISA);

              3. Penelusuran oleh Swasta

B. Berdasarkan Jenis Pelayanan terdiri dari:

              1. Penelusuran dengan Tema (Searchs by Theme);

              2. Penelusuran dengan Pemohon atau Inventor

                  (Searchs by applicant or Inventor);

              3. Penelusuran dengan Kasus (Searchs by Case);

              4. Penelusuran Patenabilitas (Novelty Searchs);

              5. Penelusuran Validitas  (Validity Searchs);

              6. Penelusuran Pelanggaran (Infringement Searchs).

Sumber penelusuran paten terdiri dari dokumen paten, dokumen non-paten seperti majalah ilmiah, buku, abstrak, jurnal dan lain-lain, database komputer dan internet.

Informasi yang dapat diperoleh dari dokumen paten antara lain teknologi dari bidang penemuan yang sudah ada, masalah teknologi apa yang akan diselesaikan dan bagaimana cara penyelesaian masalahnya. Selain itu juga dapat diketahui apakah suatu teknologi sudah menjadi publik domain atau belum.

Informasi paten tersebut dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dalam pengembangan dan penguasaan teknologi antara lain:

  • Para Peneliti/Penemu dalam industri, Riset dan Pengembangan dan Universitas yang memanfaat informasi paten untuk menghindari duplikasi penelitian, menilai dokumen pembanding sebelum melakukan penelitian, menemukan jawaban yang sudah ada akan masalah teknik dalam penelitian yang sedang berjalan, dan menjaga kemutakhiran dengan melakukan pengembangan teknologi.
  • Para produsen dalam industri yang menggunakan informasi paten untuk meningkatkan teknologi yang ada untuk memproduksi produk-produk baru, lebih baik dan lebih murah; menemukan jawaban terhadap masalah teknologi; menambah produksi dan produktivitas; mengetahui pemasok peralatan/bahan; menilai dokumen pembanding sebelum proyek manufaktur; mengidentifikasi teknologi yang cocok untuk adaptasi/transfer; dan mengevaluasi teknologi alternatif untuk proses transfer teknologi.
  • Pengusaha/Pebisnis yang memanfaatkan informasi paten untuk mengidentifikasi produk baru dalam rangka pemasaran, lisensi atau distribusi; mengetahui pemilik paten; mengidentifikasi kompetitor baik domestik maupun asing; menghindari kemungkinan masalah pelanggaran; dan untuk mengetahui wilayah investasi.
  • Konsultan dan Perencana yang memanfaatkan informasi paten untuk menilai teknologi yang masih aktif; membuat perkiraan teknologi dengan mengidentifikasi tren penemuan dalam bidang teknologi yang diberikan; memberikan nasihat kepada industri, R&D, dan institusi keuangan pada isu yang berhubungan dengan teknologi.

Dengan pemanfaatan informasi paten seperti diuraikan di atas, diharapkan dapat mendorong aktivitas riset dan inovasi sehingga pada gilirannya akan meningkatkan pengembangan dan penguasaan teknologi.

Salah satu organisasi yang menyediakan informasi paten yang dapat digunakan untuk pengembangan teknologi adalah WIPO (World Intellectual Property Organization). WIPO menyediakan informasi paten untuk permohonan-permohonan paten internasional yang diajukan oleh negara-negara yang tergabung dalam PCT.

PCT merupakan salah satu dari beberapa perjanjian internasional tentang hak kekayaan intelektual yang diratifikasi atau disetujui oleh Indonesia. Perjanjian ini memungkinkan untuk mendapatkan perlindungan paten atas suatu invensi secara serempak di sejumlah negara dengan cara mengajukan permohonan paten “internasional”. Permohonan tersebut dapat diajukan oleh siapa saja yang merupakan warga atau penduduk dari negara peserta. Pada umumnya, permohonan dapat diajukan ke kantor paten nasional atau regional dari negara peserta dimana orang yang mengajukan permohonan menjadi warga atau penduduknya. Selain itu permohonan dapat pula diajukan secara langsung ke Biro Internasional WIPO di Jenewa, Swiss.

PCT dibuat untuk mengatasi masalah-masalah yang sering timbul dalam sistem paten nasional. Masalah-masalah tersebut antara lain dalam sistem paten nasional suatu permohonan paten harus diajukan ke setiap negara dimana perlindungan paten ingin didapatkan (kecuali untuk sistem paten regional). Selain itu dalam sistem paten nasional pemeriksaan formal dari suatu permohonan paten yang diajukan di suatu negara harus dilakukan oleh Kantor Paten dari negara tersebut. Kantor Paten suatu negara juga harus memeriksa masalah substantif dari suatu permohonan paten, melakukan penelusuran untuk menentukan dokumen pembanding dalam bidang teknik dari invensi yang terkait dan harus melakukan pemeriksaan mengenai patentabilitas dari permohonan tersebut.

Dalam sistem paten tradisional pengajuan permohonan paten dilakukan secara tersendiri untuk setiap negara dimana perlindungan paten ingin didapatkan. Di bawah rute Konvensi Paris, prioritas dari permohonan sebelumnya dapat diklaim untuk permohonan-permohonan yang diajukan kemudian di negara-negara lain tetapi permohonan yang berikutnya tersebut harus diajukan dalam 12 bulan dari tanggal penerimaan dari permohonan awal. Hal ini menuntut pemohon untuk menyiapkan dan mengajukan permohonan paten untuk semua negara dimana ia mencari perlindungan untuk invensinya dalam jangka waktu satu tahun dari pengajuan permohonan pertama. Hal ini berarti pengeluaran untuk terjemahan, konsultan paten di berbagai negara dan pembayaran biaya ke kantor-kantor paten, semuanya pada satu waktu dimana pemohon sering tidak mengetahui apakah ia mungkin mendapatkan paten atau apakah invensinya benar-benar baru dibandingkan dengan invensi sebelumnya.

Pengajuan permohonan paten di bawah sistem tradisional berarti bahwa setiap Kantor paten dimana suatu permohonan diajukan harus melakukan pemeriksaan formal dari setiap permohonan yang diajukan. Jika Kantor paten memeriksa permohonan paten mengenai substantifnya, setiap Kantor harus melakukan penelusuran untuk menentukan dokumen pembanding dalam bidang teknik dari invensi itu dan harus melakukan pemeriksaan mengenai patentabilitas.

PCT merupakan perjanjian multilateral yang ditandatangani di Washington pada tahun 1970 dan mulai berlaku pada tanggal 21 Januari 1978. Perjanjian ini membentuk sistem pendaftaran paten bagi anggotanya dimana dengan satu pendaftaran paten, mempunyai efek pada banyak negara anggota PCT. Pertama kali PCT ditandatangani oleh 18 negara. Saat ini negara anggota PCT berjumlah 138 negara (per Oktober 2007).

PCT hanya merupakan sistem pendaftaran saja, tidak ada sistem pemberian paten PCT atau Paten Internasional. Namun demikian, prosedur permohonannya secara umum tetap sama. Hak dan tanggung jawab pemberian paten tetap pada kantor paten masing-masing.

Dengan adanya kemudahan sistem pendaftaran paten melalui PCT seperti diuraikan di atas, diharapkan dapat meningkatkan jumlah permohonan paten dalam negeri karena jumlah permohonan paten dalam negeri yang meningkat secara tidak langsung dapat menjadi indikator terjadinya pengembangan dan penguasaan teknologi.

Oleh karena itu akan dibandingkan jumlah permohonan paten dalam negeri di Indonesia maupun di Korea sebelum dan sesudah masing-masing negara bergabung dengan PCT.

Analisa

Dampak pengembangan dan penguasaan teknologi bagi Indonesia setelah menjadi anggota PCT dapat dilihat dari jumlah permohonan paten dalam negeri yang diajukan ke Kantor Paten. Jumlah permohonan paten dalam negeri dapat dijadikan ukuran terhadap pengembangan dan penguasaan teknologi karena dengan semakin bertambahnya jumlah permohonan paten dalam negeri berarti semakin banyak proses riset dan penelitian yang telah dilakukan untuk pengembangan dan penguasaan teknologi tersebut.

Untuk mengetahui jumlah permohonan paten dalam negeri yang diajukan ke Kantor Paten Indonesia maka diambil data statistik yang ada di internet melalui website resmi Dirjen HKI di www.dgip.go.id

Indonesia telah bergabung dengan PCT selama lebih dari 10 tahun sejak menjadi anggota pada tanggal 7 Mei 1997. Jumlah permohonan paten dalam negeri sebelum Indonesia bergabung dengan PCT berfluktuasi antara 30 hingga 60 permohonan per tahun. Contohnya, pada tahun 1991 saat Undang-Undang Paten mulai diberlakukan di Indonesia jumlah permohonan paten dalam negeri adalah 34 permohonan. Kemudian pada tahun 1992 jumlah permohonan dalam negeri meningkat menjadi 67 permohonan dan pada tahun 1993 jumlah permohonan dalam negeri turun kembali menjadi 38 permohonan.

Setelah Indonesia bergabung dengan PCT jumlah permohonan paten dalam negeri per tahun meningkat. Contohnya, pada tahun 1997 jumlah permohonan paten dalam negeri sebanyak 79 permohonan. Kemudian pada tahun 1998 jumlah permohonan paten dalam negeri meningkat menjadi sebanyak 93 permohonan dan tahun 1999 jumlah permohonan paten dalam negeri meningkat lagi menjadi 152 permohonan. Data terakhir jumlah paten dalam negeri pada tahun 2006 mencapai 282 permohonan. Lebih rinci mengenai jumlah permohonan paten dalam negeri per tahun di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

Sementara itu untuk mengetahui jumlah permohonan paten dalam negeri di Korea Selatan maka diambil data statistik yang ada di internet melalui website resmi Korean Intellectual Property Office (KIPO) di www.kipo.go.kr

Korea Selatan telah bergabung dengan PCT selama lebih dari 23 tahun sejak menjadi anggota pada tanggal tanggal 10 Mei 1984. Dari data statistik diketahui permohonan paten dalam negeri Korea mulai ada sejak tahun 1947 dengan jumlah 236 permohonan. Kemudian pada tahun 1948 jumlah permohonan paten dalam negeri berkurang menjadi 169 permohonan. Jumlah permohonan paten dalam negeri Korea terus berfluktuasi hingga tahun 1978. Mulai tahun 1979 jumlah permohonan paten dalam negeri Korea meningkat terus hingga tahun 2006.

Setelah Korea Selatan bergabung dengan PCT jumlah permohonan paten dalam negeri per tahun juga meningkat. Contohnya, pada tahun 1984 jumlah permohonan paten dalam negeri sebanyak 2.014 permohonan. Kemudian pada tahun 1985 jumlah permohonan paten dalam negeri meningkat menjadi sebanyak 2.703 permohonan dan tahun 1986 jumlah permohonan paten dalam negeri meningkat lagi menjadi 3.641 permohonan. Data terakhir jumlah paten dalam negeri pada tahun 2006 mencapai 125.476 permohonan. Lebih rinci mengenai jumlah permohonan paten dalam negeri per tahun di Korea Selatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Dari data statistik yang ada jelas terlihat adanya dampak baik bagi Indonesia maupun Korea Selatan setelah menjadi anggota PCT terhadap pengembangan dan penguasaan teknologi yang ditandai dengan meningkatnya jumlah permohonan paten dalam negeri di masing-masing negara setelah menjadi anggota PCT.

Dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota PCT telah secara nyata meningkatkan jumlah permohonan paten dalam negeri dimana hal tersebut merupakan indikasi telah terjadinya pengembangan dan penguasaan teknologi di Indonesia. Namun jika dibandingkan dengan Korea Selatan jumlah permohonan paten dalam negeri di Indonesia masih tertinggal jauh. Saat ini persentase jumlah permohonan dalam negeri terhadap jumlah total permohonan paten yang diajukan ke Dirjen HKI kurang lebih 4%, sedangkan di Korea Selatan persentase jumlah permohonan dalam negeri terhadap jumlah total permohonan paten yang diajukan ke KIPO sudah mencapai kurang lebih 75%. Hal ini dapat disebabkan antara lain karena Korea Selatan telah lebih dulu mengenal mengenai perlindungan paten dibandingkan dengan Indonesia dan juga Korea Selatan lebih dulu bergabung dengan PCT dibandingkan dengan Indonesia.

Namun hal yang paling mendasar yang menyebabkan Korea Selatan lebih maju dalam pengelolaan hak kekayaan intelektualnya adalah adanya dukungan dari pemerintah yang serius untuk menangani masalah perlindungan hak kekayaan intelektual. Hal ini terbukti dengan telah dijadikannya KIPO sebagai departemen pemerintah pusat yang pertama kali beroperasi sebagai badan eksekutif yang membiayai sendiri kegiatannya. Selain itu juga mungkin disebabkan karena kultur masyarakat Korea Selatan yang mayoritas merupakan masyarakat industrialis sehingga mereka lebih sadar akan perlindungan hak kekayaan intelektual dibandingkan dengan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas masih merupakan masyarakat agraris.

Simpulan

Pengembangan dan penguasaan teknologi di Indonesia secara umum sudah cukup baik dengan bergabungnya Indonesia menjadi anggota PCT. Hal ini dapat dilihat dengan jumlah permohonan paten dalam negeri yang semakin lama semakin bertambah jumlahnya semenjak Indonesia menjadi anggota PCT. Namun perlu dilakukan banyak usaha yang keras termasuk koordinasi yang lebih baik antara pihak-pihak yang berkepentingan termasuk pemerintah untuk lebih serius menangani masalah hak kekayaan intelektual terutama di bidang paten sehingga Indonesia dapat memanfaatkan secara maksimal semua sumber daya yang ada untuk mengembangkan dan menguasai teknologi khususnya teknologi yang tepat dan berguna bagi kebanyakan masyarakat Indonesia yang mayoritas masih bersifat agraris.

 

Tabel 1. Jumlah Permohonan Paten di Dirjen HKI

 

TAHUN/BULAN

PATEN

PATEN SEDERHANA

JUMLAH

DALAM

PCT

LUAR

PCT

DALAM

LUAR

1991

34

 

1280

 

19

3

1336

1992

67

 

3905

 

12

43

4027

1993

38

 

2031

 

28

43

2140

1994

29

 

2305

 

33

60

2427

1995

61

 

2813

 

61

71

3006

1996

40

 

3957

 

59

76

4132

1997

79

 

3939

 

80

80

4178

1998

93

 

1608

145

109

32

1987

1999

152

 

1051

1733

168

19

3123

2000

156

1

983

2750

213

38

4141

2001

208

4

813

2901

197

24

4147

2002

228

6

633

2976

157

48

4048

2003

201

 

479

2620

163

29

3492

2004

226

1

452

2989

177

32

3877

2005

234

1

533

3536

163

32

4499

2006

282

6

519

3805

242

26

4880

2007

             
JANUARI

13

 

31

358

17

2

421

FEBRUARI

27

 

29

342

20

3

421

MARET

13

 

39

356

25

3

436

APRIL

16

 

38

308

20

 

382

MEI

30

1

31

365

19

1

447

JUNI

19

 

46

428

14

3

510

JULI

32

2

26

315

13

6

394

AGUSTUS

23

1

52

367

16

4

463

SEPTEMBER              

OKTOBER

             
NOVEMBER              
DESEMBER              

JUMLAH

2301

23

27593

26294

2025

678

58914

%

3.91%

0.04%

46.84%

44.63%

3.44%

1.15%

100.00%

 

Tabel 2. Permohonan Paten di KIPO

 

Classification

Year

Korean

Foreign

Total

Applications

Proportion

Applications

Proportion

Patents

1947

236

100.0%

 

0.0%

236

1948

169

100.0%

 

0.0%

169

1949

233

100.0%

 

0.0%

233

1950

126

100.0%

 

0.0%

126

1951

30

100.0%

 

0.0%

30

1952

91

100.0%

 

0.0%

91

1953

68

89.5%

8

10.5%

76

1954

127

96.2%

5

3.8%

132

1955

144

92.3%

12

7.7%

156

1956

275

95.8%

12

4.2%

287

1957

443

94.5%

26

5.5%

469

1958

510

91.9%

45

8.1%

555

1959

634

90.2%

69

9.8%

703

1960

545

89.2%

66

10.8%

611

1961

800

93.2%

58

6.8%

858

1962

714

91.3%

68

8.7%

782

1963

670

86.9%

101

13.1%

771

1964

744

81.9%

164

18.1%

908

1965

858

84.3%

160

15.7%

1,018

1966

883

83.3%

177

16.7%

1,060

1967

855

72.6%

322

27.4%

1,177

1968

1,086

74.2%

377

25.8%

1,463

1969

1,154

67.8%

547

32.2%

1,701

1970

1,207

65.4%

639

34.6%

1,846

1971

1,283

67.3%

623

32.7%

1,906

1972

1,377

69.0%

618

31.0%

1,995

1973

1,622

67.6%

776

32.4%

2,398

1974

1,093

24.5%

3,362

75.5%

4,455

1975

1,326

45.5%

1,588

54.5%

2,914

1976

1,436

44.0%

1,825

56.0%

3,261

1977

1,177

37.5%

1,962

62.5%

3,139

1978

994

24.8%

3,021

75.2%

4,015

1979

1,034

21.9%

3,688

78.1%

4,722

1980

1,241

24.5%

3,829

75.5%

5,070

1981

1,319

24.9%

3,984

75.1%

5,303

1982

1,556

26.3%

4,368

73.7%

5,924

1983

1,599

25.0%

4,795

75.0%

6,394

1984

2,014

23.3%

6,619

76.7%

8,633

1985

2,703

25.5%

7,884

74.5%

10,587

1986

3,641

28.5%

9,118

71.5%

12,759

1987

4,871

28.5%

12,191

71.5%

17,062

1988

5,696

28.4%

14,355

71.6%

20,051

1989

7,021

30.1%

16,294

69.9%

23,315

1990

9,082

35.2%

16,738

64.8%

25,820

1991

13,253

47.1%

14,879

52.9%

28,132

1992

15,952

51.3%

15,121

48.7%

31,073

1993

21,459

58.8%

15,032

41.2%

36,491

1994

28,564

62.5%

17,148

37.5%

45,712

1995

59,236

75.5%

19,263

24.5%

78,499

1996

68,413

75.7%

21,913

24.3%

90,326

1997

67,346

72.6%

25,388

27.4%

92,734

1998

50,596

67.3%

24,592

32.7%

75,188

1999

55,970

69.4%

24,672

30.6%

80,642

2000

72,831

71.4%

29,179

28.6%

102,010

2001

73,714

70.5%

30,898

29.5%

104,612

2002

76,570

72.1%

29,566

27.9%

106,136

2003

90,313

76.1%

28,339

23.9%

118,652

2004

105,250

75.1%

34,865

24.9%

140,115

2005

122,188

75.9%

38,733

24.1%

160,921

2006

125,476

75.5%

40,713

24.5%

166,189

 

1,111,818

67.7%

530,795

32.3%

1,642,613

 

Pustaka

Drahos, P., The Universality of Intellectual Property Rights: Origins and Development (Queen Mary and Westfield College, London, United Kingdom.)

Drexl, J.,  International Competition Law – A Missing Link between TRIPS and Transfer of Technology (University of Munich, Faculty of Law.)

Ng Siew Kuan, E., The Impact of the International Patent System on Developing Countries (World Intellectual Property Organization, Geneva, 2003.)

Small and Medium Sized Enterprises Division, Intellectual Property for Business (World Intellectual Property Organization, Geneva.)

WIPO Publication No. 906(E), Exchanging Value Negotiating Technology Licensing Agreements, A Training Manual (World Intellectual Property Organization, Geneva, January 2005.)

WIPO Publication, Intellectual Property: A Power Tool for Economic Growth (World Intellectual Property Organization, Geneva)

The 2006 Annual Report of the Korean Intellectual Property Office.


[1]        Tahun 1896, Sakichi Toyota mendapatkan paten untuk perkakas tenun bertenaga listrik yang mirip dengan mesin-mesin sebelumnya yang digunakan di Eropa. Tigabelas tahun setelah percobaan pertamanya, Sakichi sukses menemukan perkakas tenun otomatis. Sejumlah paten lain diperoleh untuk melengkapi dan memperbaiki invensi tersebut dan akhirnya, tahun 1924, Perkakas Tenun Otomatis Toyota Tipe G masuk ke pasaran. Kiichiro Toyota, anak Sakichi, melakukan persetujuan penting dengan Platt Brothers & Co. untuk komersialisasi perkakas tenun otomatis tersebut. Platt Brothers membayar Toyota £100,000 (sama dengan US$25 juta saat ini) untuk hak ekslusif membuat dan menjual perkakas tenun otomatis tersebut ke negara manapun selain Jepang, Cina dan Amerika Serikat. Hal itu memberikan suntikan modal yang besar untuk investasi selanjutnya dalam riset dan pengembangan. Toyota memutuskan untuk menginvestasikan £100,000 sebagai modal awal untuk mendirikan sebuah perusahaan mobil. 

Sumber: Tadashi Ishii, Industrial Innovation in Japan and the Role of the Patent System: Case Study of Toyota (presented at Conference, Washington University, St. Louis Missouri, October 2000).

[2]        Pliva, perusahaan yang paling menguntungkan di Kroasia dan perusahaan farmasi terbesar di Eropa Tengah, sangat dikenal sebagai perusahaan multinasional yang pertama tumbuh di Eropa Tengah. Pliva dulunya merupakan perusahaan yang hidup dengan susah payah. Keberuntungan perusahaan ini memberi kesaksian perubahan haluan yang dramatis, setelah penemuan azithromycin-nya. Saat ini, azithromycin adalah antibiotik yang paling laku di dunia. Dipatenkan oleh Pliva tahun 1980, obat tersebut kemudian dilisensikan ke Pfizer, yang memasarkannya sebagai Zithromax. Penjualan Zithromax melebihi US$1 bilyun tahun lalu dan diharapkan terus bertambah. Pendapatan fenomenal yang berasal dari perjanjian lisensi tersebut telah memudahkan pengembangan Pliva yang cepat melewati Kroasia, Polandia dan Rusia. Sesungguhnya, semua ini berawal hanya karena para ilmuwan Pfizer kebenaran tiba-tiba menemukan paten Pliva tahun 1981 ketika sedang melakukan penelusuran dokumen-dokumen paten di Kantor Paten Amerika Serikat.

Sumber: Wall Street Journal (Brussels), March 3, 1999, 14.

 [3]           Kelompok bisnis Dr. K. Anji Reddy’s telah berkembang dengan cepat menjadi perusahaan farmasi internasional, menyediakan kualitas yang baik dan produk-produk farmasi yang efektif dari segi biaya ke pasar-pasar di dunia. Yayasan Riset Dr. Reddy’s (DRF) didirikan tahun 1993 dengan tujuan menemukan pengobatan-pengobatan baru. DRF menghubungkan kebanyakan suksesnya pada perlindungan paten. Dengan melindungi inovasi-inovasinya melalui paten, DRF dapat memasarkan dan melisensikan obat-obat barunya di seluruh dunia. DRF telah mengajukan permohonan-permohonan paten di beberapa negara untuk semua invensinya, termasuk 31 permohonan paten produk di Amerika Serikat, 17 diantaranya telah diberi paten. Di India, 110 permohonan paten produk dan proses juga telah diajukan. Karena perlindungan paten berpusat pada aktivitas-aktivitasnya, DRF telah mendirikan grup Manajemen Kekayaan Intelektual sendiei untuk mengawasi semua permohonan paten internasional dan masalah-masalah yang berhubungan dengan strategi paten.

Sumber: Dr. Reddy’s Research Foundation

[4]         Biobrás adalah laboratorium kecil, mandiri di Universitas Federal, Minas Gerais, Brazil. Biobrás memulai aktivitasnya menghasilkan enzim dengan perjanjian lisensi dengan Pusat Enzim New Englan yang berbasis di Amerika Serikat. Tahun 1977, dengan bantuan dari Kementerian Kesehatan Brazil, Biobrás menegosiasikan perjanjian usaha patungan dengan pemegang paten dan perusahaan farmasi multinasional Eli Lilly untuk pembuatan insulin hewan dan komersialisasinya di Brazil. Sebagai bagian dari perjanjian kerjasama pegawai Biobrás dilatih oleh Eli Lilly dalam berbagai aspek riset dan pengembangan dan juga administrasi dan pemasaran. Pada saat perjanjian dengan Eli Lilly berakhir enam tahun kemudian. Biobrás telah menjadi pembuat insulin yang penting yang menggunakan teknologi yang menjadi patokan. Sementara itu, Biobrás juga terlibat dalam riset yang mendorong ke arah terobosan penting. Biobrás sekarang telah menjadi perusahaan farmasi ke-4 – dan satu-satunya perusahaan non-multinasional – yang mempunyai kapasitas dan teknologi untuk membuat insulin rekombinan manusia. Teknologi tersebut telah dikembangkan oleh Biobrás bekerja sama dengan Universitas Brasilia dan kemudian dipatenkan di Brazil, Amerika Serikat, Kanada dan Eropa.

Sumber: website Biobras, http://www.uol.com.br, website Biominas, USPTO, dan pharmalicensing.com

Posted in Paten | Dengan kaitkata: , , , , | Leave a Comment »

LISENSI SEBAGAI SALAH SATU CARA KOMERSIALISASI HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

Posted by catatanhaki pada November 30, 2008

Pendahuluan

Komersialisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan menjadikan sesuatu sebagai barang dagangan.[1] Komersialisasi terhadap kekayaan intelektual dapat dilakukan dalam berbagai macam cara. Salah satu cara komersialisasi kekayaan intelektual adalah melalui lisensi. Cara komersialisasi kekayaan intelektual yang lain adalah penjualan (pengalihan hak) dan waralaba. Dalam penjualan atau pembelian kekayaan intelektual, hak-hak kepemilikan berasal dari penjual ke pembeli dan merupakan aktivitas satu-kali. Kekayaan intelektual tersebut dibeli atau dijual dengan harga yang disetujui. Berbeda dengan penjualan di mana hak keseluruhannya akan beralih, dengan lisensi pemberi lisensi sebagai pemilik kekayaan intelektual masih dapat mengeksploitasi kekayaan intelektual tersebut.

Berdasarkan bidang kekayaan intelektual dikenal 3 kategori lisensi yaitu lisensi teknologi, lisensi publikasi dan hiburan, dan lisensi merek dan barang dagangan.[2]  Makalah ini hanya membahas mengenai lisensi teknologi yang terutama melibatkan paten dan rahasia dagang sebagai bentuk komersialisasi kekayaan intelektual. Lisensi perangkat lunak yang di beberapa negara dapat dilindungi oleh paten dan karenanya termasuk dalam lisensi teknologi tidak akan dibahas dalam makalah ini. Akan dibahas pula keuntungan dan kerugian lisensi baik bagi pemberi lisensi maupun penerima lisensi.

Komersialisasi Kekayaan Intelektual

Ide, inovasi dan ekspresi-ekspresi lain dari kreativitas manusia dapat menimbulkan hak pribadi yang dilindungi oleh undang-undang melalui sistem kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual telah memainkan peranan yang semakin besar dalam hubungan bisnis saat ini mengingat kekayaan intelektual merupakan aset yang dapat diperdagangkan. Pengabaian terhadap perlindungan aset-aset kekayaan intelektual sudah pasti akan membahayakan bagi kesuksesan suatu perusahaan.  Menurut WIPO Handbook[3], kekayaan intelektual secara luas berarti hak-hak hukum yang berasal dari aktivitas intelektual dalam bidang industri, ilmu pengetahuan, sastra dan seni. Sedangkan menurut Frederick Abbott[4], kekayaan intelektual mengacu ke sekumpulan produk tidak berwujud dari aktivitas manusia yang berhubungan dengan ide, ekspresi ide atau ekspresi identitas yang berasal dari seseorang, sementara hak kekayaan intelektual (HKI) berkenaan dengan sekumpulan kepentingan yang dapat dilaksanakan secara hukum dimana seseorang dapat memegang kekayaan intelektual.

Kekayaan intelektual dapat dikomersialisasi jika dapat dipasarkan secara efektif dalam bentuk produk atau jasa dan menghasilkan pendapatan yang cukup untuk menutupi biaya pengembangan produk, perlindungan kekayaan intelektual dan keuntungan yang pantas. Contoh-contoh kekayaan intelektual yang dapat dikomersialisasi adalah 1) teknologi yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen atau industri, 2) alat yang telah dikembangkan oleh pencipta untuk membantu dalam risetnya, seperti perangkat lunak atau pereaksi dan 3) teknologi yang menarik bagi suatu perusahaan. Dalam semua kasus komersialisasi membutuhkan modal, keahlian, sumber daya, manajemen, riset dan pengembangan yang berjalan, dan keberuntungan. Banyak invensi dapat dipatenkan, namun biasanya paten tidak diajukan kecuali invensi-invensi tersebut dapat dikomersialisasi. Perlindungan kekayaan intelektual yang efektif dapat menjadi mahal, contohnya telah diperkirakan bahwa lebih dari 90 persen dari semua paten gagal menghasilkan keuntungan keuangan bagi pemilik paten.

Aset-aset intelektual yang tidak berwujud (intangible) merupakan sumber penghasilan yang berarti bagi banyak perusahaan dimana studi-studi menunjukkan bahwa saat ini lebih dari setengah nilai pasar perusahaan bersumber dari merek, teknologi-teknologi yang dipatenkan dan keahlian intelektual. Akibatnya komersialisasi aset-aset intelektual telah menjadi kekuatan dominan dan menggerakkan ekonomi dunia, yang memaksa bisnis-bisnis untuk mengatur secara aktif peranan hak kekayaan intelektual untuk mengkomersialisasi dan mengkapitalisasi aset-aset pengetahuannya. Kekayaan intelektual sebagai aset dapat ditingkatkan nilainya melalui lisensi. Dengan pemberian lisensi dapat menciptakan sumber pendapatan, menyebarkan teknologi ke kelompok pengguna dan pengembang potensial yang lebih luas dan berfungsi sebagai katalis untuk pengembangan dan komersialisasi lebih lanjut.

Aset-aset kekayaan intelektual dapat dieksploitasi secara komersial oleh pemiliknya atau oleh pihak lain dengan ijin dari pemiliknya. Komersialisasi bertujuan untuk memperoleh pendapatan yang dapat menutup biaya pengembangan produk. Hal itu dapat dilakukan dengan penjualan (pengalihan hak) bila pemilik tidak mempunyai pengalaman dalam memasarkan produknya dan tidak ingin terlibat dalam kegiatan sehari-hari di bidang teknologi.  Sebaliknya, bila pemilik kekayaan intelektual mempunyai pengalaman dalam pemasaran dan ingin memperoleh pendapatan tambahan yang berkelanjutan maka lisensi dapat menjadi cara untuk mengeksploitasi kekayaan intelektual tersebut.  Kata “lisensi” secara sederhana berarti ijin yang diberikan oleh pemilik hak kekayaan intelektual bagi pihak lain untuk menggunakannya berdasarkan syarat dan kondisi yang disetujui, untuk tujuan tertentu, dalam wilayah tertentu dan selama periode waktu yang disetujui. Menurut Tim Lindsey[5], lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin oleh pemilik lisensi kepada penerima lisensi untuk memanfaatkan atau menggunakan (bukan mengalihkan hak) suatu kekayaan intelektual yang dipunyai pemilik lisensi berdasarkan syarat-syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti.

Berdasarkan sifatnya lisensi digolongkan ke dalam 3 jenis, yaitu lisensi eksklusif, lisensi non-eksklusif dan sole licence. Lisensi eksklusif merupakan perjanjian dengan pihak lain untuk melisensikan sebagian HKI tertentu kepada penerima lisensi untuk jangka waktu yang ditentukan dan biasanya lisensi diberlakukan untuk daerah yang ditentukan. Pemberi lisensi biasanya memutuskan untuk tidak memberikan HKI tersebut kepada pihak lain dalam daerah tersebut untuk jangka waktu berlakunya lisensi, kecuali kepada pemegang lisensi eksklusif. Lisensi non-eksklusif merupakan perjanjian lisensi dimana pemilik lisensi dapat memberikan lisensi kekayaan intelektualnya kepada pemakai lisensi lainnya dan juga menambah jumlah pemakai lisensi dalam daerah yang sama. Sole licence adalah suatu lisensi dimana pemberi lisensi hanya boleh memberi lisensi kepada satu pihak tetapi si pemberi lisensi masih diperbolehkan mengeksploitasi kekayaan intelektual tersebut.

Lisensi telah diatur dalam 7 perundang-undangan HKI Indonesia yang terdiri dari:

– Undang-undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varitas Tanaman

– Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

– Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

– Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

– Undang-undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

– Undang-undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

– Undang-undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.

Dari semua undang-undang di bidang HKI yang dirinci di atas pada dasarnya yang dimaksudkan dengan lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin oleh pemilik lisensi kepada penerima lisensi untuk memanfaatkan atau menggunakan (bukan mengalihkan hak) suatu kekayaan intelektual yang dipunyai pemilik lisensi berdasarkan syarat-syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti.

Asas-asas lisensi

Lisensi bisa merupakan suatu tindakan hukum berdasarkan kesukarelaan atau kewajiban. Lisensi sukarela adalah salah satu cara pemegang HKI memilih untuk memberikan hak berdasarkan perjanjian keperdataan hak-hak ekonomi kekayaan intelektualnya kepada pihak lain sebagai pemegang hak lisensi untuk mengeksploitasinya. Lisensi wajib umumnya merupakan salah satu cara pemberian hak-hak ekonomi yang diharuskan perundang-undangan, tanpa memperhatikan apakah pemilik menghendakinya atau tidak.

Umumnya pemberi dan penerima lisensi akan bernegosiasi dan mengadakan mufakat tentang pemberian pemanfaatan ekonomi HKI dalam cakupan lisensi. Cakupan lisensi yaitu batasan mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pemegang lisensi terhadap HKI yang dialihkan dan biasanya diuraikan dalam perjanjian lisensi. Perjanjian lisensi atau kontrak biasanya tertulis dan  mencakup paling tidak:

– Menentukan cakupan wilayah

– Mengidentifikasi pemilik HKI dan hak-hak mereka

– Menjelaskan pemegang HKI dan hak-hak mereka dalam menggunakan HKI

– Menentukan siapa yang bertanggung jawab untuk mendaftarkan dan melindungi HKI (biasanya pemilik)

– Menentukan apakah lisensi bersifat eksklusif atau non-ekslusif

– Menentukan jangka waktu lisensi (misalnya, satu tahun, tiga tahun dan sebagainya)

– Menentukan apakah lisensi tersebut dapat diperpanjang termasuk persyaratannya

– Menguraikan tindakan atau kejadian yang melanggar kesepakatan

– Menguraikan tindak atau kejadian yang secara otomatis mengakhiri kontrak

– Memutuskan prosedur penyelesaian sengketa

– Menentukan mengenai peningkatan, pembatalan, pelanggaran, dan sub-lisensi

– Menentukan hukum yang mengatur masalah kontrak ini.

Di negara berkembang, perjanjian lisensi HKI seringkali diatur dalam undang-undang perlindungan HKI maupun undang-undang penanaman modal. Karena itu, di banyak negara-negara berkembang, beberapa kementrian mensyaratkan kontrak secara tertulis dan harus didaftarkan, sehingga dapat diawasi apakah isi kontrak tersebut sesuai dengan undang-undang atau tidak. Di beberapa negara, pemerintah akan meneliti apakah kontrak lisensi sesuai dengan:

– Hukum perjanjian

– Undang-undang HKI

– Undang-undang Anti-monopoli

– Undang-undang Penanaman modal

– Kebijakan publik dan kepentingan umum.

Dalam perundang-undangan mengenai kekayaan intelektual di Indonesia disebutkan bahwa perjanjian lisensi harus dicatatkan di DJHKI dan bila tidak dicatatkan maka perjanjian lisensi tersebut tidak mempunyai akibat hukum bagi pihak ketiga. Namun kenyataannya, hingga saat ini peraturan mengenai lisensi belum disahkan walaupun rancangan peraturan pemerintah tersebut telah beberapa kali disusun dan diperbaiki. Menurut Insan Budi Maulana, belum disahkannya peraturan pemerintah tersebut menimbulkan kesan adanya “tarik-ulur” antara Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Sekretariat Negara serta kemungkinan lobi industri farmasi asing yang keberatan dengan pengesahan peraturan pemerintah tersebut.[6]

Persyaratan dalam perjanjian lisensi

Membuat konsep perjanjian lisensi merupakan hal yang cukup penting. Jika syarat-syarat dari lisensi tidak dinegosiasikan dan disetujui oleh pihak-pihak, hukum akan menyikapi (atau menganggap) bahwa pihak-pihak tadi tidak membuat persyaratan apapun dalam perjanjian mereka. Sebagai contoh:

– kecuali suatu perjanjian lisensi secara eksplisit menyatakan lisensi tersebut eksklusif, hukum seringkali menganggap bahwa lisensi-lisensi tersebut adalah non-eksklusif.

– seorang pemegang lisensi HKI dianggap mendapatkan semua hak-hak kepemilikan atas HKI selama jangka waktu yang diperjanjikan.

– kecuali perjanjian lisensi menentukan suatu jangka waktu (misalnya, satu tahun), hukum akan menyimpulkan jangka waktu yang pantas, yang tentunya bervariasi untuk kasus-kasus tertentu.

– kecuali perjanjian lisensi menentukan tanggal akhir perjanjian (atau jelas mengenai, berapa kali perjanjian dapat diperpanjang dan untuk berapa lama), hukum akan menganggap bahwa perjanjian lisensi tersebut secara otomatis bisa diperpanjang. Bahkan, jika ada sengketa tentang pemutusan perjanjian hukum akan menyikapi masa pemberitahuan yang panjang (misalnya, 3 bulan sampai 2 tahun) sebelum perjanjian tersebut diakhiri secara hukum.

Keuntungan-keuntungan perjanjian lisensi bagi pemberi lisensi dan penerima lisensi adalah sebagai berikut:

Keuntungan bagi pemberi lisensi:

– Lisensi dapat membantu perusahaan sebagai pemilik lisensi yang tidak dapat membuat produk atau tidak ingin terlibat dalam pembuatan produk dengan mempercayakan pada kapasitas produksi, distribusi outlet, pengetahuan dan manajemen lokal yang lebih baik dan keahlian lain dari satu atau lebih partner sebagai penerima lisensi.

– Lisensi memungkinkan pemilik lisensi mempertahankan kepemilikan kekayaan intelektual dalam hal teknologi dan memperoleh keuntungan ekonomi, biasanya dalam bentuk pendapatan royalti.

– Lisensi juga dapat membantu perusahaan (pemilik lisensi) untuk mengkomersialisasi teknologinya atau mengembangkan operasinya saat ini ke dalam pasar-pasar yang baru secara lebih efektif dan dengan kemudahan yang lebih besar daripada dilakukan sendiri.

– Lisensi dapat digunakan untuk mendapatkan akses ke pasar-pasar yang baru yang sebelumnya tidak dapat diakses. Penerima lisensi setuju untuk membuat semua penyesuaian yang diperlukan untuk masuk ke pasar asing, seperti terjemahan label dan instruksi; modifikasi barang-barang sehingga sesuai dengan undang-undang dan peraturan lokal; dan penyesuaian dalam pemasaran. Biasanya, penerima lisensi akan bertanggung jawab penuh untuk produksi lokal, lokalisasi, logistik dan distribusi.

-Perjanjian lisensi dapat juga memberikan sarana untuk mengubah pelanggar atau kompetitor menjadi sekutu atau partner dengan menghindari atau menyelesaikan proses pengadilan, yang mungkin mendapatkan hasil yang tidak pasti atau mungkin memakan biaya dan/atau waktu.

Keuntungan bagi penerima lisensi:

– Perusahaan sebagai penerima lisensi dapat mencapai pasar lebih cepat dengan teknologi inovatif karena perjanjian lisensi memberikan akses ke teknologi.

– Perusahaan yang tidak mempunyai sumber daya untuk melakukan riset sendiri dan perkembangannya dapat, melalui lisensi, memperoleh akses ke kemajuan-kemajuan teknis yang diperlukan untuk menyediakan produk-produk baru atau yang lebih unggul.

– Terdapat kesempatan-kesempatan menerima lisensi yang, ketika dipasangkan dengan portfolio teknologi perusahaan yang sekarang, dapat menciptakan produk-produk, layanan dan kesempatan pasar yang baru.

Kerugian bagi pemberi lisensi:

– Pemberi lisensi kadang-kadang dapat menghasilkan keuntungan investasi yang lebih besar daripada menjalankan melalui perjanjian lisensi.

– Penerima lisensi dapat menjadi pesaing dari pemberi lisensi terutama jika diberikan hak untuk beroperasi dalam wilayah yang sama. Penerima lisensi dapat “menggerogoti” penjualan dari pemberi lisensi yang menyebabkan pemberi lisensi kurang mendapatkan royalti . Penerima lisensi sebaiknya efektif atau mendapatkan pasar lebih cepat daripada pemberi lisensi karena mempunyai biaya pengembangan yang lebih sedikit atau lebih efisien.

– Perjanjian lisensi dapat menjadi tidak menguntungkan ketika teknologi tersebut tidak didefinisikan dengan jelas atau tidak lengkap. Dalam kasus demikian pemberi lisensi diharapkan utuk melanjutkan kerja pengembangan dengan biaya yang besar untuk memuaskan penerima lisensi.

– Pemberi lisensi dapat menjadi bergantung secara kritis pada keahlian, kemampuan dan sumber daya dari penerima lisensi untuk menghasilkan keuntungan.

Kerugian bagi penerima lisensi:

– Penerima lisensi kemungkinan telah membuat komitmen keuangan untuk suatu teknologi yang tidak “siap” untuk dieksploitasi secara komersial, atau yang harus diubah untuk memenuhi kebutuhan bisnis penerima lisensi.

– Suatu lisensi teknologi dapat menambah pengeluaran ke produk yang tidak didukung oleh pasar untuk produk itu. Tidak masalah untuk menambahkan teknologi baru, tetapi hanya jika  biayanya ditanggung pasar dalam hal harga yang dapat ditagih. Berbagai teknologi yang ditambahkan ke suatu produk dapat menghasilkan produk yang kaya dengan teknologi yaitu terlalu mahal untuk dipasarkan.

– Perusahaan-perusahaan yang bergantung pada teknologi yang dilisensikan dapat menjadi terlalu tergantung secara teknologi, yang pada akhirnya dapat menjadi hambatan terhadap ekspansi masa depan mereka atau kemampuan mereka untuk menyesuikan, merubah atau menyempurnakan produk-produk mereka untuk pasar-pasar yang berbeda.

Simpulan

1. Kekayaan intelektual berhubungan dengan komersialisasi karena kekayaan intelektual mempunyai karakteristik sebagai aset yang dapat menghasilkan pendapatan yang diterima dari penggunaan atas kekayaan intelektual tersebut dalam kegiatan yang bersifat komersial.

2. Komersialisasi kekayaan intelektual dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti penjualan aset, lisensi dan waralaba. Dalam bidang teknologi cara komersialisasi yang umum dilakukan adalah dengan cara lisensi.

3. Peraturan pemerintah mengenai lisensi harus segera disahkan untuk mencegah terjadinya konflik pelanggaran hak kekayaan intelektual yang dapat merugikan pelaku bisnis terkait dan pada gilirannya dapat menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.


[1]    Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/

[2]    WIPO and ITC, Exchaning Value, Negotiating Technology Licensing Agreements, A Training       Manual, January 2005, hlm. 14.

[3]   WIPO, WIPO Intellectual Property Handbook: Policy, Law and Use, Geneva, 2001, hlm. 3.

[4]    Frederick Abbott, Thomas Cottier, Francis Gurry, The International Intellectual Property System, Commentary and Materials, Kluwer Law International, The Hague, 1999, hlm. 21.

 [5] Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo (editor), Hak Kekayaan Intelektual, Suatu Pengantar, Asian Law Group Pty Ltd dan PT. Alumni, Bandung, 2006, hlm. 332.

[6]    Insan Budi Maulana, Politik dan Manajemen Hak Kekayaan Intelektual, Bahan Kuliah Program Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta, 2006, hlm. 12.

Posted in Paten | Dengan kaitkata: , , | Leave a Comment »